Pada 2020 lalu, saya dan sejumlah rekan lakukan riset berkenaan makanan tradisionil dari Kabupaten Buol, Sulawesi tengah. Sepanjang dua minggu di atas lapangan, kami cari informasi dari pasar tradisionil sampai ke meja makan.
Dari beberapa makanan tradisionil di Buol, makanan terpopuler sampai sekarang ialah makanan dengan bahan dasar sagu. Kenapa makanan dengan bahan dasar sagu?
Makanan Dengan bahan Dasar Sagu
Dahulunya sagu adalah makanan dasar warga Buol. Tetapi, di akhir era ke-19, warga mulai berpindah konsumsi beras.
Walaupun sekarang sagu bukan makanan dasar di Buol, tetapi kita akan gampang temukan sagu dan makanan dengan bahan dasar sagu di wilayah ini. Jika kita ke pasar dan warung, banyak pedagang yang jual sagu.
Makanan dengan bahan dasar sagu banyak juga diketemukan di pasar, beberapa warung makan, dan tempat rekreasi di Buol pada harga relatif murah.
Sebagai wilayah pemroduksi sagu (terutama di Kecamatan Momunu) dengan kualitas baik, sagu menjadi jati diri budaya warga Buol. Ini kelihatan dari berbagai ragam kulineran ciri khas Buol dengan bahannya dasar sagu.
Sejumlah makanan tradisionil dengan bahan dasar sagu di wilayah ini, yakni: boid, yabuoy (ambal), pupuyun, yanggadiang, dan tombouat. Makanan tradisionil ini gampang diketemukan di sejumlah tempat di Buol.
Boid dibuat dari sagu yang umumnya digabung kelapa parut. Makanan ini diolah memakai dudongean (alat masak dari tanah liat) yang memiliki bentuk bulat.
Yabuoy dibuat dari sagu dan mempunyai tebaran di atasnya yang selanjutnya tertutupi kembali dengan sagu. Umumnya diberi ikan, lemak ayam, sayur-sayuran, pisang bahkan juga gula merah.
Pupuyun umumnya diolah memakai air mendidih dan harus diaduk-aduk terus-terusan sampai mengental. Pupuyun dikonsumsi bersama ikan kuah kuning.
Sementara yanggadiang dengan bahan dasar sagu dan gula merah, dan tombouat material dasar sagu dan lemak ayam/sapi. Semua beberapa bahan pembikinan kulineran itu ada di pasar, khususnya di Pasar Daerah Bugis.
Pasar Daerah Bugis di Buol
Satu diantara pasar di Buol yang lumayan ramai ialah Pasar Daerah Bugis di di Kecamatan Biau. Kenapa disebutkan Pasar Daerah Bugis? Rupanya ada sejarahnya.
Awalannya, orang Bugis lakukan migrasi ke wilayah ini lewat pelayaran dan perdagangan. Mereka menetap pada bagian timur Sungai Buol.
Selanjutnya, di awal era ke-20, beberapa ribu orang Bugis tinggal dan membudidaya kelapa di daratan pantai. Wilayah ini berkembang dan dikenali nama Daerah Bugis (Henley 2005:217).
Temandaud pada bukunya menulis jika dari 1880 sampai 1915, daerah Daerah Bugis menjadi pusat perdagangan di Buol. Satu diantara komoditas perdagangan yang terpenting ialah kopra yang dibawa kapal schoener atau kapal kayu Bugis (hlm. 59).
Di suatu pagi, dengan naiki becak motor, saya ke arah Pasar Daerah Bugis. Pasar ini benar-benar ramai. Beragam komoditas dijualbelikan pada tempat ini seperti dengan pasar pada tempat lain.
Satu diantara hal yang membandingkan pasar ini dengan pasar biasanya ialah komoditas yang dijualbelikan. Di sini, kita akan menyaksikan sagu dengan jumlah yang banyak. Seakan-akan pasar ini ibarat pasar sagu.
Ada yang menjualnya di atas becak, ada yang dalam gerai, dan ada di tepi jalan. Untuk saya yang dari daerah barat Indonesia, panorama ini ialah suatu hal yang baru dan unik.
Bukan hanya itu, di pasar ini ada banyak pedagang yang jual makanan dengan bahan dasar sagu. Sudah pasti saya berusaha untuk menikmatinya.
Selainnya sagu dan makanan dengan bahan dasar sagu, di Pasar Daerah Bugis ada gula aren. Gula aren dari Buol populer dengan kualitas yang baik. Harga benar-benar murah jika dibanding gula aren biasanya.
Mumpung murah tetapi berkualitas, saya juga beli sekarung gula aren itu langsung dari pengolahnya di Dusun Bongo. Gula aren dengan berat belasan kilo gr itu menjadi oleh-olehan yang membuat istri benar-benar berbahagia.
Bagaimana tidak, rupanya gula aren itu ialah gula terbaik yang dulu pernah kami konsumsi. Bahkan juga sampai saat ini, tidak ada yang dapat menaklukkannya. Karena mungkin gula itu langsung dibeli dari pembikinnya, masih hangat-hangat.
Berunding di Meja Makan
Jika bertandang ke sesuatu wilayah, hal yang tidak dapat terlewati ialah nikmati makanan ciri khas di wilayah itu. Satu kali lagi, makanan ciri khas dari Buol ialah makanan dengan bahan dasar sagu.
Makanan tidak cuma masalah rasa, tapi ada narasi dibalik makanan itu. Makanan menjadi fasilitas membangun jalinan yang baik dan dan fasilitas wisata.
Di Buol banyak tempat rekreasi pantai yang sediakan kulineran dengan bahan dasar sagu. Sesuatu saat, saya dan beberapa teman juga pilih nikmati kulineran di satu diantara pantai itu.
Sekalian menanti sajian, berunding menjadi aktivitas yang menggembirakan sekalian nikmati embusan angin dan menyaksikan bentangan ombak. Topik diskusinya bebas, dimulai dari masalah tugas sampai beberapa topik lucu yang membuat semua tertawa.
Sesudah sajian ada, dialog juga makin hangat. Sehubungan karena makanan itu baru pertama dimakan, karena itu masing-masing mengatakan gagasannya masalah rasa makanan.
Tentu semua menjelaskan jika makanan itu sedap, apalagi di depan penjual. Sukurnya, semua makanan yang diminta dapat dihabiskan. Ini membuat penjual senang juga.
Dialog di atas meja makan bersama beberapa teman benar-benar menggembirakan, apalagi dilaksanakan pada tempat yang sangat nyaman. Selainnya dapat nikmati makanan, dialog itu dapat sama-sama menajamkan dan memberikan dukungan tugas.
Dialog itu bisa memperkuat pertemanan yang selalu diingat. Jika di masa datang berjumpa, masa lalu itu akan mempersatukan menjadi narasi yang hangat.
Tidak cuma dengan rekan, dialog di atas meja makan dilaksanakan penjual. Di satu segi, kita memerlukan info tentang beberapa hal terutama berkaitan makanan tradisionil yang dijualnya.
Kita dapat memperoleh informasi mengenai sejarah, penyebaran, dan prospect ekonomi dari kulineran itu. Mungkin tidak seluruhnya penjual punyai waktu dan pengetahuan mengenai itu, tapi minimal mereka dapat memberi informasi awalnya/dasar.
Disebelah lainnya, penjual benar-benar senang dan merasa dipandang saat kita berunding sama mereka. Mereka merasakan ada pada posisi terhormat seperti seorang guru yang memberi informasi untuk siswa.
Cukup banyak penjual yang siap temani konsumen di atas meja makan sekalian berunding. Mereka ingin ketahui banyak hal dari pengunjung, apalagi pengunjung di luar wilayah.
Penutup
Narasi makanan tradisionil dari Buol memperlihatkan jika tiap wilayah mempunyai kekhasan sebagai jati diri budayanya. Tiap pasar tradisionil dan makanan yang dicicipi di atas meja makan mempunyai narasi sendiri.
Daftar Bacaan
Henley, David. 2005. Fertility, Food And Fever: Population, Economy and Environment in North and Central Sulawesi, 1600-1930. Leiden: KITLV Press.
Temandaud, T. 1949. Tambo dan Sejarah Buol. Gorontalo: Drukkerij Annaser.